Berpikir Kritis: Bekal Menghadapi Perang Pemikiran dalam Islam

Nofalia Nurfitriani
4 min readSep 16, 2024

--

Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah (Sumber: Dok. Pribadi)

Peperangan tidak terbatas pada ranah politik, ekonomi, dan militer saja. Ada pula bentuk serangan terhadap pola pikir yang dilakukan secara sistematis dan terencana, dikenal sebagai Ghazwul Fikri atau perang pemikiran. Ini merupakan strategi musuh-musuh Allah SWT yang ditujukan untuk mempengaruhi cara berpikir umat Islam, melemahkan keyakinan pada Islam, kemudian menjauhkan mereka dari ajaran Islam, dan dengan tujuan akhir Islam lenyap secara menyeluruh[1].

Beberapa metode yang digunakan untuk melancarkan serangan Ghazwul Fikri yaitu melalui media, pendidikan, dan budaya populer/hiburan. Melalui metode-metode tersebut, penyebaran informasi yang menyesatkan tentang Islam dan nilai-nilai yang bertentangan dengan ajaran Islam dilakukan.

Umat Islam menghadapi dilema dan kebingungan akibat maraknya penyebaran informasi yang menyesatkan dan gagasan-gagasan yang bertentangan dengan nilai Islam. Umat Islam yang belum memiliki pemahaman mendalam tentang Islam lebih rentan terhadap pengaruh-pengaruh tersebut, sehingga mudah terseret arus pemikiran yang menyimpang dari ajaran agama mereka. Fenomena ini bahkan mempengaruhi para intelektual Muslim yang justru terjerumus dalam perang pemikiran. Mereka yang alih-alih berkontribusi menyelamatkan umat, justru terjebak dalam pusaran perang pemikiran. Oleh karena itu, Ghazwul Fikri harus ditanggapi dengan serius. Diperlukan strategi yang terstruktur untuk melindungi umat Muslim dari dampak perang pemikiran ini.

Kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits dan memahaminya tentulah yang utama. Namun, ada aspek yang sering terabaikan, yakni mengasah kemampuan berpikir kritis. Berpikir kritis dapat diartikan sebagai upaya seseorang untuk memeriksa kebenaran dari suatu informasi menggunakan ketersediaan bukti yang ada, logika, dan kesadaran terhadap bias[2] untuk mencapai pemahaman yang mendalam terhadap sesuatu. Berpikir kritis membantu kita untuk dapat menjelaskan dan menganalisis suatu pernyataan, ide, maupun gagasan. Menurut Akhwan (2019), metode berpikir kritis yang dapat dijadikan teladan yaitu berpikir kritis dalam kisah Nabi Ibrahim AS yang terdiri dari tiga tahapan yaitu observasi, nalar (perenungan yang mendalam untuk mendapatkan inti sesuatu), dan transedental (puncak kesadaran akan kemahakuasaan Allah SWT)[3].

Sayangnya, pola pikir umat Islam saat ini mengkhawatirkan, terutama di era modern yang serba cepat. Informasi mengalir dari berbagai sumber, yang kebenarannya belum tentu terjamin, seringkali diterima begitu saja tanpa pemahaman atau analisis mendalam. Masyarakat tampaknya semakin kesulitan untuk memahami sesuatu, dan keinginan untuk memahami pun mungkin kurang, sehingga banyak umat Islam yang menjadi pengikut tanpa benar-benar mengetahui apa yang sedang terjadi. Kemampuan observasi dan penalaran, seperti yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim AS, masih jauh dari terinternalisasi dalam diri umat Islam.

Belum lagi jika terjadi kekeliruan dalam berpikir. Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, di mana BPIP (Badan Pembina Ideologi Pancasila) melarang anggota paskibraka putri mengenakan jilbab dengan alasan ‘keseragaman’ dan menghindari adanya simbol agama yang dianggap tidak nasionalis. Padahal, sila pertama Pancasila (Ketuhanan yang Maha Esa) jelas menyiratkan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Terlebih lagi, hal ini juga diatur dalam Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin kebebasan beragama. Dari hal tersebut, tampak jelas siapa yang sebenarnya tidak menjalankan nilai-nilai nasionalisme.

Hal lain yang dapat disoroti dari situasi tersebut adalah tidak ada anggota paskibraka putri yang menolak ketentuan tersebut (melepas jilbab saat pengibaran). Kemungkinan pertama yaitu mereka merasa tidak punya pilihan karena itu adalah aturan, atau kedua, karena kemampuan berpikir kritis dan bertindak sesuai yang diyakini masih terbatas. Yang patut diapresiasi yaitu masyarakat dengan cepat mengkritik keputusan BPIP terkait jilbab, dan akhirnya jilbab diperbolehkan untuk dikenakan oleh anggota paskibraka putri. Kasus seperti ini bisa saja mengarah pada sekularisme jika kita tidak waspada dan berani menentangnya.

Tahapan lain dalam keteladanan berpikir kritis Nabi Ibrahim AS adalah dimensi transedental, yang menekankan bahwa segala sesuatu bermuara pada kemahakuasaan Allah SWT. Berpikir kritis sangatlah penting, namun harus dilakukan dengan benar, yaitu berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Hal yang perlu dikritisi adalah yang terlihat baik dan logis, tetapi sebenarnya menyimpang dari ajaran Al-Qur’an dan Hadits. Berpikir kritis bagi umat Islam memiliki tujuan akhir mencapai iman dan taqwa, berbeda dengan konsep berpikir konvensional/ ala barat yang lebih menekankan pada pembuktian data semata dan mengabaikan keyakinan akan pencipta.

Jika kompetensi dasar (kemampuan berpikir kritis yang baik dan benar) terpenuhi, umat Islam akan mampu dengan jelas membedakan mana ajaran Islam yang murni dan mana yang tidak. Umat Islam diharapkan dapat membentengi diri dan lingkungan dari bahaya Ghazwul Fikri yang semakin hari semakin banyak jenisnya dan semakin mengerikan. Setelah mampu berpikir dan memahami dengan baik sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits, harapannya umat Islam memiliki bekal dan dapat bersuara serta bertindak sebagaimana mestinya untuk menjaga kemurnian dan mengembalikan kejayaan Islam.

[1] Supraha, Wido. 2024. Ghazwul Fikri. Sekolah Pemikiran Islam.

[2] Halpern, 1998; Larsson, 2017 dalam Ahmad Sulaiman dan Nandy Agustin Syakarofath. 2018. Berpikir Kritis: Mendorong Introduksi dan Reformulasi Konsep dalam Psikologi Islam. Buletin Psikologi Vol. 26, №2, 86–96.

[3] Akhwan, Muzhoffar. 2019. Pengembangan Berpikir Kritis Berbasis Al-Quran Studi Keteladanan Nabi Ibrahim Di Pondok Pesantren UII Yogyakarta. UIN Sunan Kalijaga. Disertasi.

--

--

Nofalia Nurfitriani

A policy advisor specializing in fair & sustainable development (esp. on food, agrarian, & env issues). I enjoy sports, baking, volunteering & being in nature.