Revisit Your Life Purposes

Nofalia Nurfitriani
7 min readApr 7, 2021

--

Di sebuah hutan kota di Den Haag, Belanda, 2018 (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Beberapa waktu belakangan ini, terutama awal tahun 2021, pertanyaan ini lagi-lagi muncul:

“Apa tujuan hidupmu?”

Pertanyaan ini mungkin terdengar mudah, tetapi paling penting dan mendasar, dan menjawabnya yang…butuh perenungan panjang dan pendalaman serta pemahaman terhadap diri kita sendiri.

Pertanyaan ini pertama kali muncul mungkin saat aku duduk di bangku SD (dalam bentuk pertanyaan lain yang lebih sederhana, sesederhana “kamu mau jadi apa?” dan saat itu aku sangat serius memikirkan dan menjawabnya). Kemudian, muncul kembali saat SMA, saat kuliah (2012! Iya, one of my turning point years), dan terus muncul ketika aku lulus, bekerja, melewati banyak fase kehidupan, dan muncul lagi saat ini.

Mungkin memang pertanyaan ini harus selalu muncul agar terus mengingatkan kita akan hakikat kita hidup di dunia. Juga karena semua yang tercipta itu pasti ada makna dan tujuannya, kita diminta untuk merenungkannya.

إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَءَايَٰتٍ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Imran 190–191)

Maka itu, aku menulis ini bukan berarti untuk menggurui atau sudah sempurna, tapi sebagai catatan pribadi, sebagai pengingatku untuk revisit my life purposes secara berkala, terutama di kala lemah/lalai. Semoga catatan ini juga bisa bermanfaat untuk orang lain yang membacanya, aamiinn..

Jadi, apa sebenarnya tujuan kita hidup di dunia?

Untuk mencari ini, aku mengajak diriku berpikir, merenung, semakin memahami diri. Aku juga mencari, memahami referensi yang menjelaskan tentang hal ini. Tak lupa, berdiskusi dengan orang-orang yang kita percaya, seperti keluarga dan sahabat (aku bersyukur dikaruniai Allah sahabat-sahabat yang selalu mengingatkan akan kebaikan dan cinta kepada Allah).

Memang kenapa sih harus terus direnungkan? Karena apapun yang kita lakukan itu akan dipertanggungjawabkan.

أَيَحْسَبُ ٱلْإِنسَٰنُ أَن يُتْرَكَ سُدًى

“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (QS. Al Qiyamah: 36).

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَٰكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ

“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al Mu’minun : 115).

“Seorang pria akan ditanya mengenai lima (hal) pada Hari Kebangkitan: tentang hidupnya dan bagaimana ia menghabiskannya, tentang masa mudanya dan bagaimana ia menjadi tua, tentang kekayaannya: di mana ia memperolehnya dan dengan cara apa ia menghabiskannya, dan apa yang dia lakukan dengan pengetahuan yang dia miliki.” (Dicatat dalam Tirmidzi)

Dari situlah, aku terus mencoba revisit tujuan hidupku dan memperkuat atau memperbaharui strategi-strategi dalam menjalankan hidupku.

Ibadah

Selama ini, kita pasti paham bahwa tujuan hidup kita di dunia adalah untuk beribadah.

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidak Aku (Allah) ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat: 56).

وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلْقَيِّمَةِ

“Dan mereka tidaklah disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat serta menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. al-Bayyinah: 5)

Sebagian ulama membagi ibadah menjadi dua yaitu Ibadah Mahdhoh dan Ibadah Ghairu Mahdhoh. Ibadah Mahdhoh atau ibadah yang sifatnya ritual syar’i seperti shalat, puasa, zakat, dsb sedangkan ghairu mahdhoh yaitu semua amal kebaikan yang dilakukan dalam rangka mewujudkan ketaatan kepada Allah, dilakukan atas nama Allah dan untuk mengharap ridho-Nya. Misalnya, dengan kita bekerja dengan tulus untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarga melalui rezeki yang halal, menjadi anak yang berbakti, kakak yang teladan, adik yang baik, itupun insya Allah menjadi amal ghairu mahdhoh.

Sebagian ulama lagi membagi menjadi tiga yaitu ibadah hati, ibadah lisan, dan ibadah fisik. Ibadah hati di antaranya yaitu cinta kepada Allah dan Rasul, takut pada Allah dan bertawakkal pada-Nya, mengharap rahmat dan ampunan-Nya. Ibadah lisan di antaranya yaitu dengan berdzikir, membaca al-qur’an, bersholawat, menyampaikan nasihat/kebaikan, dsb. Ibadah fisik yaitu seperti sholat, berbakti pada orang tua, membantu orang lain, dsb.

Ibadah tercermin dalam konteks hubungan kita dengan Allah yaitu beribadah sebagai hamba-Nya. Sedangkan, khalifah (pemimpin) tercemin dalam konteks hubungan kita dengan alam semesta. Tujuan kita beribadah, peran kita sebagai khalifah.

Khalifah

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوٓا۟ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّىٓ أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (QS. Al Baqarah: 30)

Manusia diciptakan sebagai khalifah fil ardh, pemimpin di muka bumi, setidaknya untuk dirinya sendiri. Tetapi khalifah juga bermakna luas, yaitu sebagai pemimpin yang bertanggung jawab dalam menjaga keberlangsungan hidupnya dan alam sekitarnya, menebar manfaat seluas-luasnya.

Hal inilah yang membuatku berpikir dan merenung berkali-kali. Akan menjadi pemimpin seperti apa/ berkontribusi sejauh mana aku di muka bumi? Apa potensiku? Apa yang bisa aku kerjakan dan maksimalkan? Mau bermanfaat dengan cara seperti apa? Mau menjalani hari-hari kayak gimana? Agar bisa menjadi amal ibadah dan tambahan bekal ke akhirat.

Terlebih lagi, jujur saja, ibadahku mungkin banyak yang tak khusyuk. Sholat sulit khusyuk, ibadah lain juga mungkin perlu lebih diluruskan kembali niatnya (karena tak mampu menahan tarikan gravitasi duniawi), belum lagi naik turunnya iman, juga dosaku yang berlipat-lipat. Maka, aku harus memperbaiki itu semua, melengkapinya dengan ibadah lain yang aku bisa, yaitu menjalankan peranku di dunia dengan sebaik-baiknya, yaitu menjadi khalifah, pemimpin di muka bumi.

Awalnya selintas yang terbayang itu… harus jadi orang kaya raya dulu supaya bisa sedekah banyak, harus punya kekuasaan dulu supaya bisa bikin kebijakan pro rakyat, harus pintar dan cerdas dulu supaya bisa punya karya yang bermanfaat untuk masyarakat luas. Betul, itu memang tidak salah. Tetapi, kadang kita luput akan hal-hal kecil namun jika dilakukan penuh dengan keikhlasan karena Allah, sungguh ini juga bernilai mulia di mata Allah, insya Allah.

Contohnya saja, ada kisah seorang bernama Uwais Al-Qarni yang namanya harum di langit karena berbakti kepada ibu bapaknya. Mungkin yang dilakukan terkesan kecil, tapi masya Allah ganjarannya surga.

Dari kisah tersebut, kita bisa memaksimalkan diri kita untuk orang-orang di sekeliling kita, seperti yang Uwais Al-Qarni lakukan, berbakti pada orang tua. Atau bagi yang sudah memiliki peran tambahan, misalnya menjadi istri, suami, ibu atau bapak, bisa melaksanakan peran-peran tersebut dengan sebaik-baiknya.

Intinya, bukan besar kecilnya yang kita lakukan (di mata manusia) tetapi lebih kepada sejauh mana kita amanah dan professional dalam mengerjakannya (itqonul’amal) dan sejauh mana ketika kita bekerja (pekerjaan apapun dalam bidang apapun) semuanya diniatkan untuk beribadah, untuk bisa bermanfaat bagi keluarga dan orang lain.

Bermimpi besar, berpikir besar, melakukan hal besar mungkin bisa jadi pilihan selanjutnya..

Kita dianjurkan untuk bisa bermanfaat bagi seluas-luas masyarakat. Namun, ingat, being reflective is also important, apakah mimpi-mimpi besar tersebut bermuara kepada-Nya? Atau mengejar gengsi duniawai semata?

Karena, jika duniawi yang dikejar, akan menjadi semacam ambisi yang tak berujung. Sebaliknya, jika kita niatkan mimpi-mimpi kita untuk menggapai ridho-Nya, untuk mendapat cinta-Nya, maka tidak diragukan lagi, insya Allah, Allah juga makin sayang sama kita.

Jadi, sebelum kita melakukan apapun, cek lagi niat kita, sudah lurus karena Allah atau belum?

Yang mana menjaga niat itu memang sulit (setidaknya buatku), maka niat harus dijaga, baik di awal, di tengah, maupun di akhir (karena sering goyah, ketarik sama gravitasi duniawi).

Kemudian, terkait peran kita di dunia, hanya Allah yang tau peran sejati kita, masa depan kita, kita jadi seperti apa. Manusia diciptakan sebagai makhluk yang cerdas (memiliki akal, memiliki pilihan) juga dengan fitrah mulia (condong kepada kebaikan, kebajikan, dsb), maka sebisa mungkin kita mencari peran spesifik kita di dunia, dengan terus mengasah potensi diri dan mengoptimalkannya.

Tidak ada peran atau mimpi yang terlalu kecil atau terlalu besar selama bermuara kepada Allah, berlandaskan ibadah kepada Allah dan Allah ridho dengan apa yang kita lakukan, yang kita impikan. Keyakinan kembali lagi bertemu Allah di hari akhir semoga jadi energi kita memaksimalkan potensi yang Allah titipkan.

Nah, mau jadi pemimpin seperti apa/ berkontribusi di mana? Di peran/ pekerjaan/ bidang/ sektor apa? Dan bagaimana menjalaninya?

Rahmah

وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَٰلَمِينَ

“Dan tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin).” (QS. Al Anbiya: 107)

Selain membawa ajaran Islam, Nabi Muhammad SAW dianugerahi kepribadian yang penuh rahmah. Dikatakan pula bahwa penjelasan konkret akhlak Al-Qur’an termanifestasikan dalam tingkah laku Nabi Muhammad SAW.

Dengan izin Allah, kita juga bisa meneladani Rasulullah dengan menebarkan rahmah/kasih sayang. Dari peran kita sebagai khalifah dan manfaat yang bisa kita berikan semoga bisa menjadi bentuk kasih sayang kita kepada sesama, kepada alam semesta.

Ibadah, Khalifah, Rahmah

Tiga kata penuh makna tersebut (Ibadah, Khalifah, Rahmah — sebenarnya satu lagi yaitu Itqonul’amal — bisa dibahas di tulisan terpisah) menjadi peganganku dalam menjalani hidup, dalam mencapai tujuan hidupku, dalam menggapai ridho-Nya.

Ibadah semaksimal apa, khalifah seperti apa, rahmah seluas apa… Inilah yang menjadi pemikiranku beberapa waktu ini.

Menemukan tujuan hidup dari daya cipta dan rasa yang kuat, diwujudkan melalui karsa dengan sungguh-sungguh, dan dibingkai dengan spiritualitas berasaskan tauhid Allah Yang Maha Esa, Maha Segala-galanya.

Kini, perlahan sudah mulai kutemukan. Namun, itu tadi, seperti yang di awal kukatakan bahwa strategi-strategi dalam mencapai tujuan hidup akan mungkin terus berubah.

Semoga kita istiqomah berada di jalan-Nya. Semoga Allah limpahkan kita kasih sayang-Nya, ridho-Nya, perlindungan-Nya, agar kita meraih ketenangan, kebaikan, dan kedamaian, juga supaya saat kita melenceng dari jalan-Nya, Allah selalu beri kita petunjuk untuk kembali. Aamiin..

Selamat berkarya dengan tulus dan sepenuh hati :)

--

--

Nofalia Nurfitriani

A policy advisor specializing in fair & sustainable development (esp. on food, agrarian, & env issues). I enjoy sports, baking, volunteering & being in nature.