Feel Your Sholat (2)

Nofalia Nurfitriani
6 min readJun 3, 2021

--

Grand Mosque of Paris, Perancis, 2018 (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Oke, setelah kita tahu kenapa kita harus sholat dan benar-benar “merasakan” sholat (ada di postingan Feel Your Sholat (1)), yuk kita coba selami satu-satu setiap makna dalam gerakan dan bacaan sholat (unboxing Al-Fatihah dan standing position).

Takbir

ٱللَّٰهُ أَكْبَرُ

Takbir mengandung kata “akbar” yang berasal dari kata “kabiro” yang artinya “besar” yang menunjukkan makna dari sesuatu yang artinya “lebih” atau “paling”. Ketika takbir (Allahuakbar), kita meyakini, mengakui Allah yang paling besar/agung (pandangan ke arah sujud, karena kita tidak ada apa-apanya dibanding Allah).

Al-Fatihah

Surat Al-Fatihah yaitu surat pertama di Al-Qur’an dan paling indah. Ayat pertama yang turun memang Al-‘Alaq (1–5), tetapi Al-Fatihah adalah surat pertama yang diturunkan secara lengkap.

Al-Fatihah terdiri dari “alif lam” ditambah “fatihah”. “Fatihah” itu artinya yang membuka, jika ditambah “Al” dapat berarti sesuatu yang komprehensif dan pengkhususan. Jadi, yang dibuka adalah kebaikan. Ketika kita bisa benar-benar memahami surat ini, bukan hanya 1–2 kebaikan yang terbuka, tetapi segala macam kebaikan terbuka. Semua yang tertutup akan terbuka, semua yang sulit akan terbuka, atau dengan kata lain yaitu yang kita butuhkan akan terbuka/hadir. Ditambah “Al”, pengkhususan, kita diminta fokus ke surat Al-fatihah ini (diantara semua surat, ini yang paling utama, sampai-sampai dijadikan pembuka; pembuka semua yang ada di dunia dan akhirat).

Jadi, bagaimana kita mau membuka kebaikan, atau menghapus kesedihan, tanpa kita memahami Al-fatihah?

Bismillahirrahmanirrahim…

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Huruf “Ba” dalam bismillah.

Ada 14 fungsi Ba. Fungsi Ba salah satunya sebagai “untuk menguatkan” sesuatu, lainnya yaitu “Al-musahabah” (sesuatu yang berdampingan, lekat). Apapun yang kita lakukan jika dimulai dengan bismillah, karena ada “Ba”, Allah itu “nempel”/”lekat” sama kita, Allah selalu ada sama kita, mengawasi kita (mengingatkan kita kalau kita agar kita tidak melakukan yang buruk).

Setelah Ba, ada “Ismun” yang asal katanya dari “sumuwun” (langit yang tidak bisa kita jangkau, berarti tinggi banget), Ismun artinya meninggikan. Disandingkan dengan kata “Allah” bukan kata “Rabb”, karena Allah itu nama tertinggi Allah. Rabb, Rahman, itu sifatnya Allah.

Bismillahirrahmanirrahim (mengawali dengan surat al-fatihah; mengawali semua aktifitas, karena Allah). Amal-amal yang di dalamnya ada takwa, itulah ibadah. Kalau tidak, berarti bukan ibadah. Contoh, minum tanpa basmallah, bisa jadi bukan ibadah.

Alhamdulillahirabbil’alamin

اَلْحَمْدُ للَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ

“Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam”

Hamdu” itu maknanya pujian; terimakasih untuk semua pemberian atas semua yang diminta atau tidak. (Bedanya dengan “syukron” yaitu terima kasih karena pemberian seseorang yang kita minta). “Alhamdu” itu jadi bukan pas kita minta lalu Allah beri dan baru kita bersyukur, bukan cuma itu. Tetapi, Allah memberi apa yang tidak kita minta pula (contohnya oksigen).

Selain itu, “hamdu” atau pujian itu kata benda (tidak terikat waktu). “Segala puji bagi Allah” artinya Allah tidak butuh dengan hambaNya, justru kita yang butuh Allah. Meski kita jadi hamba yang tidak bersyukur, “Alhamdu” atau Segala Puji selalu ada; malaikat selalu memuji/bersyukur pada Allah, juga hewan, tumbuhan, dll.

Lillahirabbil’alamin…

لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْ

Kenapa menggunakan kata “Rabb” karena Rabb punya arti yang banyak. Maknanya ada “Malik” (pemilik), “Murabbi” (seseorang yang merawat sesuatu agar tumbuh baik, memberi kita hadiah/nikmat), “Wal Qayyim” (seseorang yang memastikan segala sesuatunya bersama/tidak bercerai berai), “Sayyid” (yang punya kewenangan penuh). Itu semua sifat Allah yang berhubungan langsung dengan manusia. Allah memperkenalkan dirinya sebagai Rabb. Diri kita menerima Allah itu Tuhan kita dan kita mengakui sebagai hamba Allah.

“ ’Alamin”, jamaknya dari ‘alam yang bermakna satu kehidupan. Kalau “ ‘alamiin” artinya banyak kehidupan. Allah tuhannya semua kehidupan: alam semesta, kehidupan malaikat, dsb.

Arrahmanirrahiim

الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِۙ

“Yang Maha Pengasih, Lagi Maha Penyayang”

Bedanya Rahman dan Rahiim:

Arrahman” yaitu cinta dan kasih sayangnya Allah itu ekstrem, lebih dari ekspektasi kita, cinta Allah datang saat itu juga, tetapi tidak permanen. Sedangkan untuk “Rahiim” itu permanen. Tapi bedanya tidak harus sekarang.

Maalikiyaumiddiin

مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِۗ

“Pemilik hari pembalasan”

Maalikiyaumiddiin” yaitu pemilik hari pembalasan. Jika Allah hanya tunjukkan arrahman arrahim bisa saja ada yang memanfaatkan/ menyalahgunakan. Tapi Allah itu setelah arrahman arrahim, Allah menyampaikan Maalikiyaumiddiin. Addiin: selain pembalasan, yaitu kesepakatan yang akurat dan adil.

Kesepakatannya yaitu Allah akan bermurah hati selama hambaNya tidak memanfaatkan/meremehkan perintahNya, petunjukNya. Jika meremehkan, Allah tidak “rahiim” ketika di akhirat.

Manusia akan diberi “rapot” di tangan kanan dan kiri. Orang-orang yang diberi rapot di tangan kanan akan mendapat “rahiim”, dan sebaliknya. Jika kita mendapat “rahiim” Allah, ketika malaikat lagi buka rapotnya, dan disaksikan Allah, itu bisa saja proses pembacaannya cepat karena mendapatkan “rahiim” nya Allah. Nah, jika ingin mendapatkan “rahiim” nya Allah, syaratnya yaitu bertaqwa.

Dari “Arrahman” dan “Arrahiim” kita belajar bahwa Allah itu seimbang, banyak kasih sayangnya tetapi juga adil.

Iyyaakana’budu wa iyyaaka nasta’iin

اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُۗ

“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.”

Apakah ada orang yang ikhlas menjadi budak? Biasanya budak itu membenci atau mencintai tuannya? Biasanya membenci tuannya. Tetapi beda dengan Allah, tuan biasanya memaksa, tetapi Allah itu tidak memaksa, karena Allah tidak memaksa kita menjadi hambaNya. Allah tidak bilang: “Sembahlah Aku”, tetapi “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah”.

Dalam Islam, di Al-Fatihah saja sudah disuruh memilih yaitu “Iyyakana’budu” (hanya kepada Engkau lah kami menyembah), artinya tidak ada yang bisa membuat diri kita menjadi muslim, tetapi kita sendiri yang harus datang ke Allah. Kenapa harus datang ke Allah? Karena 3 ayat sebelumnya tadi. Sehingga di ayat ini kita membuat komitmen: memilih, berjanji sama Allah.

Ada riwayat ketika kita baca Al-Fatihah, Allah itu membalas ucapan kita disetiap ayatnya. Ketika “Iyyakana’budu”, Allah membalas bahwa ini adalah komitmen antara Aku dan hambaKu. Ketika kita ingin menghadirkan khusyuk, saat baca Al-Fatihah bisa beri jeda dan bayangkan Allah menjawab setiap ayat yang kita ucapkan.

Iyyakanasta’in

“pada Engkau kami minta pertolongan.”

Nasta’in asal kata dari “ ‘Awn/’Awnun” (dan ada banyak lagi), tetapi Allah menggunakan “ ‘Awn/’awnun”, muncullah “isti’ana”, kemudinan “nasta’in”. Mengapa “ ‘awnun”? Pertolongan yang spesifik dan pertolongan yang datang atas usaha tetapi belum mampu menyelesaikannya. Jadi memang harus usaha terlebih dulu. Saat tidak kuat, kita minta tolong. Seperti misalnya: “Aku udah berusaha maksimum (ibaratnya udah gak kuat lagi) Ya Allah, dan aku butuh bantuanMu”. Contoh lain yaitu saat perang badar, Rasul dan pasukan menghadapi musuh terlebih dahulu, barulah Allah menurunkan malaikat untuk menolong pasukan Rasul.

Biasanya jika meminta pertolongan harus spesifik, tapi di Iyyakanasta’in (pada Engkau kami minta pertolongan) redaksinya tidak spesifik, pertolongan buat apa? Itu karena saking ngga kuatnya, saking banyaknya bantuan yang diminta.

Kenapa Iyyakana’budu (Hanya kepada Engkaulah kami menyembah) dulu? Karena dua alasan: kita ada di muka bumi untuk beribadah dan menghamba pada Allah. Maka tujuan dulu yang disebut duluan dan apa yang kita butuhkan untuk mencapai tujuan itu? Pertolongan untuk mencapai tujuan tersebut.

Ihdinash-shirraatal musthaqiim

اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ

“Tunjukilah kami jalan yang lurus.”

Jika kita meminta petunjuk, berarti kita harus sudah siap. Siap menerima petunjuk dan melaksanakannya. Huda itu dalam bahasa Arab berasal dari Hadiya, maknanya hadiah. Jadi Huda/Hadiya itu petunjuk yang paling baik. Berarti jalan yang lurus itu petunjuk yang terbaik.

Petunjuknya Allah itu beda, lebih dari sebuah informasi. Lebihnya itu/didalamnya itu ada kekuatan, kekuatan untuk melaksanakan petunjuk tsb. Kekuatan untuk terus meminta jalan lurus, akan menimbulkan kekuatan di hati kita.

Shirath” (jalan, bisa jadi juga sabil, thariq) dapat berarti jalan yang lebar, jalan yang lurus tidak belok, jalan yang berbahaya (ketika semakin taqwa, semakin bahaya juga untuk jatuh, tak ada jaminan kita bertaqwa sampai akhir).

Mustaqiim” (asal kata dari Qoma): berdiri — lurus ke atas.

Jadi shiratalmustaqiim berarti jalan yang lurus dan keatas. Kenapa ke atas? Itu maksudnya, siapapun yang melintasi jalan ini maka taqwanya akan naik dan meningkat step by step. Jadi kita minta ditunjukan jalan lurus sampai akhir. Ketika kita “naik”, kita bisa melihat apa yang orang “tak bisa lihat”, penglihatannya dan pengetahuannya, taqwanya beda, akan beda dengan orang yang naiknya hanya sedikit.

Shiraathal ladziina an’amta ‘alaihim ghairil maghduubi ‘alaihim waladh-dhaalliin

صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ

“(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”

Semakin tinggi semakin bahaya (takut goyah), kita minta tolong ke Allah. Dan kita butuh seseorang juga, minta tolong ke orang yang sudah “lulus”. Di sini yaitu orang-orang terdahulu, misal nabi Ibrahim, nabi musa, nabi Muhammad, ashabul kahfi dkk. Kita kan belum dijamin. Allah membuat jalan menjadi mudah bagi orang-orang sebelum kita, maka kita cari tau gimana itu jalannya supaya bisa ngikutin juga.

An’amta” itu bentuk lampau maknanya “telah Engkau beri nikmat”. “An’amta” berasal dari “Nu’uuma” artinya kelembutan, kemudahan, kenyamanan.

“Bukan jalan mereka yang dimurkai” jadi kita tidak hanya minta petunjuk gimana orang-orang yang sudah lurus, tapi kita jadi paham juga mengapa orang-orang terdahulu gagal, agar kita tidak mengikuti jalan kegagalan tsb.

Maghdhuub” yaitu orang yang tau petunjukkan, tapi melanggar. “Mereka yang dimurkai” bukan “Mereka yang Allah murkai” karena Allah sudah marah banget, sehingga tidak memakai namaNya. Karena yang murka bukan hanya Allah, tapi malaikat juga, orang-orang beriman juga, murka para leluhur dan keturunannya, dapet murka dari segala arah.

Dholliin” yaitu tersesat, ngga punya petunjuk.

Bedanya dengan orang yang pertama (Maghdhuub/yang dimurkai) mereka sudah punya petunjuk/info tetapi tidak mengerjakannya. Sedangkan “dholliin” (berbuat salah karena tidak punya pentunjuknya).

Yuk baca lanjutannya di Feel Your Sholat (3) :)

--

--

Nofalia Nurfitriani

A policy advisor specializing in fair & sustainable development (esp. on food, agrarian, & env issues). I enjoy sports, baking, volunteering & being in nature.